KPPU Tak Mampu Buktikan Adanya Kartel Minyak Goreng yang Mainkan Harga di RI

Dasar tuduhan KPPU sangat lemah yang menyatakan kesepakatan di antara terlapor dilakukan melalui pertemuan-pertemuan asosiasi. (.com)

Pihak Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dinilai tak mampu membuktikan adanya komunikasi para terlapor dalam dugaan kartel minyak goreng. Ini disampaikan kuasa hukum 5 terlapor atas nama Grup Wilmar, yakni Kantor Assegaf, Hamzah & Partners (AHP). Lima pihak terlapor Grup Wilmar tersebut antara lain PT Multi Nabati Sulawesi, PT Multimas Nabati Asahan, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Cahaya Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia.

“Kalau bukti yang disampaikan hanya daftar meeting (Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia) GIMNI. Meeting-nya isinya apa, tidak ada yang disampaikan,” ujar Kuasa Hukum AHP Farid Nasution soal kartel minyak goreng di Rumah Wijaya Jakarta pada Minggu, 15 Januari.

Dalam laporan, Investigator KPPU menduga kenaikan harga minyak goreng sebagai akibat dari tindakan penetapan harga oleh 27 terlapor melalui komunikasi atau koordinasi antara para Terlapor dalam pertemuan-pertemuan asosiasi termasuk GIMNI sepanjang tahun 2019 sampai dengan awal 2022.

“19 terlapor merupakan anggota GIMNI, sedangkan 4 terlapor merupakan asosiasi AIMMI, dan 4 terlapor lainnya bukan termasuk anggota GIMNI dan AIMMI,” katanya.

KPPU Kurang Bukti untuk Bisa Tuding Ada Manipulasi Kartel Minyak Goreng

Oleh karena itu, dasar tuduhan KPPU sangat lemah yang menyatakan kesepakatan di antara terlapor dilakukan melalui pertemuan-pertemuan asosiasi. Farid melanjutkan, KPPU menduga penetapan harga dilakukan oleh 27 perusahaan dari 13 kelompok usaha yang berbeda.

Dengan begitu banyaknya jumlah terlapor dalam kasus ini, penetapan harga kartel minyak goreng menjadi sangat sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan. “Wilmar mengikuti demand harga dan dinamika proses produksi tergantung harga bahan baku, termasuk saluran distribusi. Proses produksi Wilmar normal sebelum HET diberlakukan,” katanya.

Menurut Farid, kenaikan harga minyak goreng yang terjadi sejak akhir 2021 sampai pertengahan 2022 dipicu oleh kenaikan harga CPO di pasar global, mengingat persentase harga CPO mencapai 80-85 persen dari biaya produksi.

“Para saksi yang sudah dihadirkan baik oleh investigator maupun terlapor mengaku tidak mengetahui adanya koordinasi antara pengusaha untuk menaikkan harga jual. Para saksi juga tidak pernah mendengar dan mengetahui adanya upaya menahan pasokan oleh para produsen,” imbuhnya soal kartel minyak goreng.