Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) telah mengkritik kebijakan ekspor pasir laut yang disahkan oleh Presiden RI Jokowi (Joko Widodo) melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Hasil Laut. Dani Setiawan, Ketua Umum KNTI, menilai izin ekspor pasir laut ini sebagai bentuk eksploitasi sumber daya alam yang tidak beradab dan sudah ketinggalan zaman.
“Dalam praktik ini, kita melihat suatu model eksploitasi sumber daya alam yang sangat primitif, kuno. Dahulu kita melihat proses eksploitasi dengan cara menggali tambang dan mengirimkannya keluar negeri bersama dengan tanahnya. Itu ditolak, dan sekarang mereka ingin mengulanginya. Ini adalah model bisnis yang kuno, primitif, dan tidak manusiawi, yang ingin diulang melalui PP ini,” ujar Dani dalam sebuah diskusi virtual yang ditayangkan di akun YouTube KNTI pada Minggu (11/6).
KNTI juga merasa jengkel dengan narasi-narasi yang membingungkan yang disampaikan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, beserta jajarannya. Oleh karena itu, Dani meminta Trenggono untuk tidak menganggap rakyat bodoh terkait dampak eksploitasi pasir laut tersebut.
“Ketika pemerintah, terutama KKP, menyampaikan informasi, mereka harus memiliki posisi yang jelas. Jangan menganggap rakyat ini bodoh dan tidak mengerti apa-apa. Jangan menganggap nelayan kecil yang telah menjadi tempat terjadinya eksploitasi pasir laut ini tidak tahu dampak yang terjadi,” kata Dani.
“Telah tiba saatnya bagi pemerintah untuk mengakui, jangan menggunakan istilah-istilah yang membuat mereka menjadi bodoh sendiri,” tambahnya.
Dani juga meragukan perumusan PP tersebut yang dianggapnya dilakukan tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Ia menyatakan bahwa pengerukan dan ekspor pasir laut bertentangan dengan niat pemerintah untuk mendorong hilirisasi guna meningkatkan nilai tambah sumber daya alam Indonesia.
“Hal ini menimbulkan pertanyaan besar. Seberapa tinggi tingkat kerahasiaan PP ini? Jika ini adalah kebijakan publik, maka seharusnya melibatkan partisipasi rakyat,” ujar Dani.
Dalam kesempatan tersebut, Zulhamsyah Imran, seorang dosen Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Lautan dari IPB University, berpendapat bahwa kaum oligarki dan kapitalis akan diuntungkan dengan kebijakan baru pemerintah tersebut. Ia mengutip pernyataan beberapa ahli yang menyebutkan bahwa aturan tersebut dikeluarkan terlalu cepat. Zulhamsyah juga curiga bahwa PP Nomor 26 Tahun 2023 lahir karena adanya tekanan permintaan pembangunan pulau reklamasi di negara tetangga.
“Apakah negara terbesar dan terdekat diminta untuk berkontribusi dalam pembangunan pulau reklamasi di negara lain? Apa kepentingan kaum oligarki? Di Indonesia, ketika kita bicara tentang oligarki, ada kelompok kapitalis yang menguasai Indonesia, termasuk Sumatra, Papua, Kalimantan, dan Sulawesi,” ujar Zulhamsyah.
“Di mana letak keadilan sosial yang disebutkan dalam sila kelima? Saya yang mengatakan ‘saya adalah yang paling Pancasila’, sedangkan orang lain tidak. Mari perhatikan satu per satu sila Pancasila,” tambahnya.
Sementara itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, sebelumnya menyatakan bahwa PP Nomor 26/2023 diterbitkan karena adanya permintaan yang tinggi terkait reklamasi di dalam negeri, termasuk untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara. Trenggono mengungkapkan bahwa setiap tahun terjadi sedimentasi pasir sebanyak 20 miliar kubik di Indonesia. Oleh karena itu, permintaan reklamasi dalam negeri harus memanfaatkan pasir sedimentasi tersebut.