Animo masyarakat Bali, khusunya anak-anak dalam menulis aksara Bali di lontar cukup tinggi. Menulis di lontar memiliki tingkat kesulitan tinggi. Ini karena seseorang harus memahami pasang aksara, kerapihan, dan kebersihan dari tulisan. Hal tersebut merupakan salah satu syarat untuk menghasilkan keindahan dalam menulis di lontar.
Dalam menulis aksara Bali di Lontar, tingkat kesulitan cukup tinggi dan yang perlu diingat adalah dalam melakukan kesalahan penulisan, penulis tidak boleh mencoret begitu saja. Jika terjadi kesalahan penulisan maka penulis harus ngemademang atau mematikan aksara. Namun, hal tersebut dapat membuat hasil menjadi tidak rapih.
Seni menulis lontar kerap diperlombakan di Bali dan diminati banyak anak-anak. Seperti pada ajang Pesta Kesenian Bali ke 40 kemarin, lomba menulis aksara Bali di lontor mendapatkan animo tinggi di kalangan anak-anak.
Menurut Juri Lomba Menelis Bali di Lontar I Gde Nala Antara, kriteria penilaian juga dapat dilihat dari bentuk tulisan atau Wangun. Bentuk tulisan setidaknya harus mendekati “bulat”, bukan baik tapi “wayah” dan bertaksu.
Selain bentuk tulisan, penilaian lainnya adalah mengenai teknik serta etika dalam menulis. Hal ini menjadi penilaian karena dalam menulis aksara Bali di kertas dan di lontar sangat berbeda. Meski menulis di atas lontor cukup sulit tetapi tidak mengurangi minat anak-anak.
Setiap kecamatan dan Kota atau Kabupaten juga sering mengadakan lomba menulis di atas lontar. Di daerah peminatnya ukup banyak. Justru perlombaan di tingkat provinsi hanya ada di PKB saja.
Untuk tingkat provinsi, lomba menulis lontar sudah dihentikan sejak dua tahun lalu. Padahal jika tetap dilaksanakan secara rutin, sangat bagus untuk melestarikan budaya di Bali. Terlebih lagi saat ini sudah ada Perda yang membahas mengenai bahasa, aksara, dan sastra Bali. Dalam perda tersebut, bulan Februari ditetapkan sebagai bulan bahasa di Bali.